Kamis, 13 Mei 2010

Perlu Waktu 3 Bulan Untuk Mengantri Gigolo !


Meski kontroversi film Cowboys in Paradise di Bali sudah mulai mereda, fenomena gigolo atau pelacur pria agaknya selalu menarik untuk dibicarakan. Di Bali, untuk bisa menyewa seorang gigolo profesional dan tergolong laris, seorang ‘konsumen’ harus rela antre hingga 3 bulan.

Fakta menarik ini disampaikan ahli kesehatan jiwa Bali, yang juga pengamat masalah sosial, Profesor dr. LK Suryani.

Menurut Suryani, fenomena gigolo di Bali sudah ada sejak dulu dan sudah tidak tabu lagi dibicarakan di Bali. Beda dengan status pelacur wanita (PSK) yang tergolong hina, gigolo atau pelacur pria justru ada dalam posisi status membanggakan, bagi para pelakunya (gigolo).

“Di Bali, gigolo itu sudah ada sejak dulu, sejak saya mulai buka praktek (psikiater). Saya pernah menangani gigolo yang datang ke tempat saya untuk konsultasi. Bahkan ada gigolo yang mempunyai kartu berisi namanya dan nomor kontak yang bisa dihubungi para pelanggan maupun calon pelanggannya. Mereka amat bangga dengan profesinya, karena bisa memperoleh kenikmatan (seks) dan materi dengan mudah,” jelas Suryani belum lama ini.

Menurut Suryani, seorang gigolo yang sudah punya nama akan sangat mudah mendapatkan pelanggan, terutama dari kalangan wanita yang haus kepuasan seks.

“Untuk bisa mendapatkan pelayanan dari seorang gigolo yang sudah punya nama, dulu ada pelanggan yang harus rela antre hingga 3 bulan,” kata wanita yang aktif dalam penanganan penderita gangguan jiwa dan upaya pencegahan bunuh diri di Bali ini.

Gigolo dalam kehidupan sehari-hari, kata Suryani, tidak semuanya memiliki wajah ganteng dan bertubuh atletis ataupun kekar.

“Tidak seperti yang terlihat di tayangan televisi, gigolo yang disukai turis wanita asing itu kebanyakan tidak berwajah ganteng, malah kulitnya hitam-hitam. Bahkan ada yang kulitnya panuan,” ujarnya.

Terkait keberadaan gigolo di Bali, Suryani menyayangkan adanya diskriminasi antara pelacur wanita dan pelacur pria atau gigolo. Operasi penyakit masyarakat yang gencar dilakukan aparat berwenang selama ini, hanya menyasar pelacur wanita atau WTS.

“Sementara gigolo dianggap sebagai suatu hal yang wajar dan tidak pernah mendapat hukuman dari masyarakat, ” pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar