Robot Prajurit |
Kian panjangnya deret serdadu Paman Sam yang nyawanya melayang di medan perang ataupun mengalami krisis mental menguatkan tekad Amerika Serikat untuk membuat pasukan supertangguh. Tak bisa mati ataupun depresi. Pilihannya mengisi barisan skuad militer masa depan mereka dengan robot prajurit ala The Terminator, robot pembunuh rekaan Hollywood.
Negeri Paman Sam serius dengan proyek yang ditarget tuntas pada 2010 tersebut. Karena itu, mereka tak sayang menggelontorkan dana yang diperkirakan menghabiskan USD 4 miliar (sekitar Rp 51,5 triliun) tersebut.
Untuk mewujudkan ambisi tersebut, Pentagon menggandeng ahli robotika Inggris untuk merancang alat semacam ''indra kepatuhan'' pada robot-robot itu agar tidak sembarangan menerobos aturan perang yang ditetapkan Konferensi Jenewa.
''Pertanyaan yang ingin dijawab adalah apakah kami bisa menciptakan mesin senjata otomatis yang patuh pada aturan perang? Mampukah kami gunakan teori etika untuk membantu mendesain mesin ini,'' kata Colin Allen, ahli sains dari Indiana University, kepada The Telegraph.
Peneliti tengah merancang sebuah software sebagai panduan pergerakan robot-robot itu. Sebuah sistem yang bisa menganalisis sendiri kapan mulai beraksi, membedakan pasukan musuh dengan sipil, atau membedakan tank baja dengan ambulans. Tak lupa, aturan Konvensi Jenewa diselipkan dalam memori komputer tersebut sebagai panduan etika prajurit di medan perang.
''Keuntungan'' robot prajurit itu, menurut Ronald Arkin, ilmuwan komputer dari Georgia Tech University, adalah tak perlu melindungi diri sendiri dan tak akan marah atau frustrasi bila berada terus-menerus di medan tempur. Itu berbeda dengan yang dirasakan prajurit AS di Iraq maupun Afghanistan.
Kritik datang dari ahli komputer dari Sheffield University, Noel Sharkey. Dia mengatakan,''Tulang belulang saya menggigil. Saya sudah bekerja sebagai agen intelijen selama berpuluh tahun, namun gagasan robot menggantikan peran manusia itu sungguh mengerikan.''
sumber artikel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar