Kian lama kian banyak tanah Bali dikuasi investor, seperti di pesisir Buleleng. Kini hampir sebagian besar tanah-tanah pesisir di Buleleng dikuasai oleh investor. Hal ini cukup memprihatinkan. Karena tidak sampai 50 tahun lagi, tanah Bali akan berpindah tangan. Lalu akan kemanakah orang Bali? Apa pun alasannya, entah abrasi ataupun alasan lain, sebaiknya tanah-tanah Bali jangan dijual. Sebagai penguasa, pemerintahlah yang harus mencarikan jalan keluar, agar suatu saat nanti orang Bali tidak mengontrak di rumahnya sendiri. Demikian opini yang muncul diacara Warung Global, yang disiarkan Radio Global 96,5 FM, Jumat (8/10) kemarin. Berikut rangkuman selengkapnya.
Tut De di Tabanan membuka Warung Global dengan rasa perihatin yang mendalam dan tidak tahu harus menyalahkan siapa. Namun dia menyayangkan, tidak satu negara di dunia pun aturannya seliberal Indonesia. Sistem liberal yang telah dilindungi hukum itulah yang paling pantas disalahkan. Investor dengan bebas dan leluasa masuk ke mana pun yang diinginkannya, tanpa ada aturan yang melarangnya. Apa pun alasannya, jika satu generasi ini tidak dipotong, maka tidak lama lagi Bali akan berpidah menjadi milik orang asing.
Menurut Edi di Denpasar jika melihat letak dan topografinya, Buleleng adalah termasuk daerah kering dan berpenghasilan kurang, jadi wajarlah mereka menjual tanah mereka yang terkikis abrasi. Jangankan membangun penahan abrasi untuk tanah mereka di pinggir pantai, untuk mereka sendiri saja masih susah. Agar semua sama-sama jalan, masyarakat tetap bisa memiliki tanahnya, pemerintah tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya untuk penahan abrasi, dan investor dapat membangun usaha di tempat tersebut, masyarakat sebenarnya tidak harus menjual tanah mereka. Mereka masih bisa melindungi tanahnya dengan cara lain, yaitu mengontrakkan secara berjangka. Setelah batas waktunya habis tanah menjadi milik mereka kembali, sehingga ke depan Bali tidak menjadi milik orang luar/asing.
Dengan nada pasrah Sangging di Kemenuh mengatakan biarlah semua habis. Kita tidak bisa mengelola milik sendiri, jadi biarlah orang lain yang mengelolanya. Apa pun alasannya, yang pertama dilakukan adalah menguatkan payung hukum. Namun payung hukum yang tidak pro capitalism. Jika payung hukum sudah kuat, investor ataupun masyarakat tidak akan bisa berbuat apa. Tidak akan ada yang menjual dan tidak akan ada yang membeli. Namun, masyarakat juga tidak bisa disalahkan dalam hal ini. Mungkin alasan mereka menjual tanahnya di pantai karena takut, sertifikatnya ada namun tanahnya tidak ada.
Ada yang menjual ada pula yang membeli, bukankah itu adalah hal yang wajar? Demikian pertanyaan yang disampaikan oleh Gede Biasa di Denpasar. Tidak mungkin investor akan menguasai Bali, jika orang-orang Bali tidak menjual tanahnya kepada investor. Memang sangat memprihatinkan. Jika semua tanah Bali dijual kepada orang asing, orang Bali akan kemana? Inilah yang harus dipikirkan oleh orang Bali itu sendiri, khususnya oleh penguasa dengan membuat aturan yang memihak kepada tanah dan orang Bali.
Menurut Wayan Ginawa di Denpasar, itulah investor, mereka tahu kalau ingin menguasai Bali secara keseluruhan harus mulai dari gunung dan pesisis atau nyegara gunung. Kalau mau jujur, tidak hanya pesisir Buleleng yang dikuasai investor tetapi hampir seluruh pesisir Bali. Anehnya pemimpin-pemimpin kita membiarkan saja hal ini terus terjadi.
Hal senada disampaikan Dewa Mahayana. Penguasaan memang dimulai dari pesisir, ingat sejarah, masuknya penjajah Belanda ke Indonesia ya mulai dari pesisir, terus pribumi selanjutnya jadi "terusir".
Menurut Ketut Restama, kalau investor tersebut membawa kesejahteraan bagi masyarakat Buleleng, mengapa kita harus takut? Yang penting pesisir bukan dibeli oleh investor, memang Buleleng perlu investor akan tetapi jangan semuanya dijual ke investor. Masyarakat harus waspada terhadap penjajahan ekonomi.
Menurut pengamatan Agung Purnawijaya di Blahbatuh, beberapa tahun belakangan ini Bali memang telah dikepung. Tidak saja dari Bali bagian utara, namun hampir seluruh pesisir Bali. Dalam hal ini ada dua masalah yang harus dipecahkan. Pertama, tidak ada alasan untuk tidak memelihara wilayah negara oleh pemerintah, apalagi alasan biaya. Kedua, masyarakat pemilik tanah tidak mampu membayar pajak dan juga desakan-desakan kebutuhan masyarakat yang semakin hari semakin meningkat apalagi yang mengikuti gaya hidup modern. Inilah yang harus dicarikan jalan keluarnya, agar tanah Bali tetap dapat dipertahankan.
Lain pemimpin lain kebijakan, demikian pendapat Made Bukit di Jimbaran. Di zaman Gubernur IB Mantra, ada kebijakan orang Bali dilarang menjual tanah, gubernur berikutnya, kebijakannya berganti lagi, demikian seharusnya. Dia berharap kepada gubernur sekarang agar benar-benar kembali menerapkan kebijakan lama, orang Bali dilarang menjual tanahnya.
Jika boleh memilih Becik di Jimbaran akan memilih abrasi daripada dijual kepada investor. Karena jika sudah dimiliki orang asing, rakyat Bali tidak akan mampu membelinya kembali. Soal abrasi, tugas pemerintah yang mencarikan jalan keluarnya. Sebagai pemilik negara, pemerintah harus bertanggungjawab dalam melindungi tanah airnya.
Tut De di Tabanan membuka Warung Global dengan rasa perihatin yang mendalam dan tidak tahu harus menyalahkan siapa. Namun dia menyayangkan, tidak satu negara di dunia pun aturannya seliberal Indonesia. Sistem liberal yang telah dilindungi hukum itulah yang paling pantas disalahkan. Investor dengan bebas dan leluasa masuk ke mana pun yang diinginkannya, tanpa ada aturan yang melarangnya. Apa pun alasannya, jika satu generasi ini tidak dipotong, maka tidak lama lagi Bali akan berpidah menjadi milik orang asing.
Menurut Edi di Denpasar jika melihat letak dan topografinya, Buleleng adalah termasuk daerah kering dan berpenghasilan kurang, jadi wajarlah mereka menjual tanah mereka yang terkikis abrasi. Jangankan membangun penahan abrasi untuk tanah mereka di pinggir pantai, untuk mereka sendiri saja masih susah. Agar semua sama-sama jalan, masyarakat tetap bisa memiliki tanahnya, pemerintah tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya untuk penahan abrasi, dan investor dapat membangun usaha di tempat tersebut, masyarakat sebenarnya tidak harus menjual tanah mereka. Mereka masih bisa melindungi tanahnya dengan cara lain, yaitu mengontrakkan secara berjangka. Setelah batas waktunya habis tanah menjadi milik mereka kembali, sehingga ke depan Bali tidak menjadi milik orang luar/asing.
Dengan nada pasrah Sangging di Kemenuh mengatakan biarlah semua habis. Kita tidak bisa mengelola milik sendiri, jadi biarlah orang lain yang mengelolanya. Apa pun alasannya, yang pertama dilakukan adalah menguatkan payung hukum. Namun payung hukum yang tidak pro capitalism. Jika payung hukum sudah kuat, investor ataupun masyarakat tidak akan bisa berbuat apa. Tidak akan ada yang menjual dan tidak akan ada yang membeli. Namun, masyarakat juga tidak bisa disalahkan dalam hal ini. Mungkin alasan mereka menjual tanahnya di pantai karena takut, sertifikatnya ada namun tanahnya tidak ada.
Ada yang menjual ada pula yang membeli, bukankah itu adalah hal yang wajar? Demikian pertanyaan yang disampaikan oleh Gede Biasa di Denpasar. Tidak mungkin investor akan menguasai Bali, jika orang-orang Bali tidak menjual tanahnya kepada investor. Memang sangat memprihatinkan. Jika semua tanah Bali dijual kepada orang asing, orang Bali akan kemana? Inilah yang harus dipikirkan oleh orang Bali itu sendiri, khususnya oleh penguasa dengan membuat aturan yang memihak kepada tanah dan orang Bali.
Menurut Wayan Ginawa di Denpasar, itulah investor, mereka tahu kalau ingin menguasai Bali secara keseluruhan harus mulai dari gunung dan pesisis atau nyegara gunung. Kalau mau jujur, tidak hanya pesisir Buleleng yang dikuasai investor tetapi hampir seluruh pesisir Bali. Anehnya pemimpin-pemimpin kita membiarkan saja hal ini terus terjadi.
Hal senada disampaikan Dewa Mahayana. Penguasaan memang dimulai dari pesisir, ingat sejarah, masuknya penjajah Belanda ke Indonesia ya mulai dari pesisir, terus pribumi selanjutnya jadi "terusir".
Menurut Ketut Restama, kalau investor tersebut membawa kesejahteraan bagi masyarakat Buleleng, mengapa kita harus takut? Yang penting pesisir bukan dibeli oleh investor, memang Buleleng perlu investor akan tetapi jangan semuanya dijual ke investor. Masyarakat harus waspada terhadap penjajahan ekonomi.
Menurut pengamatan Agung Purnawijaya di Blahbatuh, beberapa tahun belakangan ini Bali memang telah dikepung. Tidak saja dari Bali bagian utara, namun hampir seluruh pesisir Bali. Dalam hal ini ada dua masalah yang harus dipecahkan. Pertama, tidak ada alasan untuk tidak memelihara wilayah negara oleh pemerintah, apalagi alasan biaya. Kedua, masyarakat pemilik tanah tidak mampu membayar pajak dan juga desakan-desakan kebutuhan masyarakat yang semakin hari semakin meningkat apalagi yang mengikuti gaya hidup modern. Inilah yang harus dicarikan jalan keluarnya, agar tanah Bali tetap dapat dipertahankan.
Lain pemimpin lain kebijakan, demikian pendapat Made Bukit di Jimbaran. Di zaman Gubernur IB Mantra, ada kebijakan orang Bali dilarang menjual tanah, gubernur berikutnya, kebijakannya berganti lagi, demikian seharusnya. Dia berharap kepada gubernur sekarang agar benar-benar kembali menerapkan kebijakan lama, orang Bali dilarang menjual tanahnya.
Jika boleh memilih Becik di Jimbaran akan memilih abrasi daripada dijual kepada investor. Karena jika sudah dimiliki orang asing, rakyat Bali tidak akan mampu membelinya kembali. Soal abrasi, tugas pemerintah yang mencarikan jalan keluarnya. Sebagai pemilik negara, pemerintah harus bertanggungjawab dalam melindungi tanah airnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar