Boleh dibilang tahun 2008 merupakan tahun yang cukup suram bagi investor dan trader di Bursa Efek Indonesia (BEI). Betapa tidak, saham-saham unggulan sempat dibanting harganya sampai hancur lebur tak karuan. Saya masih ingat betul AALI yang dibanting ke 4600, BBRI di 2400, BUMI di 640, atau UNTR di 2400. Tak ketinggalan saham-saham unggulan lain semisal ASII (6600), BBCA (2000), BMRI (1100), INCO (1140), LSIP (1350), PGAS (1050), PTBA (3750), SMGR (1350), atau UNSP (185). Rata-rata dari mereka sudah jatuh lebih dari separonya.
Lalu, bagaimana kira-kira peluang investasi saham di tahun ini?
Kejatuhan Berjamaah
Dibandingkan dengan harga penutupan per 28 Desember 2007, saham-saham yang tergabung dalam LQ45 rata-rata ditutup lebih rendah per 30 Desember 2008. Cukup mengejutkan karena hanya BNII dan LPKR yang mencetak untung dengan masing-masing sebesar 29,82% dan 15,94%.
Seperti bisa Anda lihat, mayoritas saham anjlok dengan cukup signifikan. Juaranya dipegang oleh TRUB (-96,48%), diikuti ENRG (-94,36) dan DEWA (-92.65%). Urutan selanjutnya diisi oleh UNSP, ELTY, BTEL, CPRO, BUMI, BNBR, dan MNCN. Terlihat jelas bahwa saham-saham grup Bakrie mengalami penurunan cukup drastis setelah di awal-pertengahan 2008 cukup menjadi primadona. Ada baiknya untuk mulai menjaga jarak dari Bakrie.
Kesaktian Buyback
Inisiatif dari pemerintah maupun dari emiten yang bersangkutan untuk melakukan aksi buyback saham-saham di pasar yang telanjur rontok harganya ternyata cukup manjur. Berikut adalah perbandingan closing price terendah sepanjang 2008 dan closing price per 30 Desember 2008 dari emiten-emiten yang mengaku melakukan buyback.
Memang benar bahwa banyak yang meragukan aksi buyback tersebut hanya sekadar gertakan sambal. Buyback tidak benar-benar dilakukan atau, kalaupun iya, hanya sebagian kecil dari alokasi dana yang sudah disiapkan sebelumnya. Namun nyatanya gertakan tersebut cukup mampu mengangkat hampir semua harga saham-saham yang berjatuhan.
Outlook 2009
Di media massa, Boediono nampak sumringah memaparkan optimismenya akan kebangkitan perekonomian makro Indonesia di tahun 2009 ini. Menurut saya, kuncinya ada di Pemilu 2009. Kalau bisa berjalan lancar dan presiden terpilih merupakan calon yang benar-benar kredibel dan diminati, Indonesia siap lepas landas.
Aksi pemboman dan teror yang terjadi di luar negeri memang tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun. Namun, situasi yang memanas dan penuh uncertainty semacam itu boleh jadi malah “menguntungkan” karena biasanya akan menggerakkan harga minyak. Kenaikan tersebut akan mendorong naiknya harga saham-saham pertambangan dan saham berbasis komoditas.
Obama akan menambah pasukannya di Afganistan. India dan Pakistan makin panas. Nigeria, Somalia, dan Sudan bergejolak. Iran juga masih ngotot dengan pengayaan uranium. Industri senjata di Amerika akan mendapat angin segar mengingat inilah satu-satunya sektor industri yang bisa diandalkan untuk mengangkat perekonomian mereka dan mengapresiasi nilai dollar. Bukan tidak mungkin intel mereka sudah menyusup hingga ke Aceh dan Papua.
Dalam berinvestasi, inilah saatnya untuk kembali fokus kepada aspek fundamental. Saya sendiri menyukai perusahaan yang rutin membayar dividen dan jumlahnya cukup menarik. Fokus pada perusahaan dengan net profit margin bagus dan rasio utang yang rendah karena mereka lebih kebal terhadap goyangan krisis. Ada cukup banyak emiten yang koreksinya sudah cukup lumayan.
Prioritaskan pilihan Anda untuk saham di LQ45 karena lebih likuid. Bila ada emiten yang hendak melakukan buyback dan tender offer mungkin bisa dipertimbangkan. Banyak emiten bagus dengan price-earning ratio rendah dan book value yang masih cukup murah. Jauhi perusahaan yang hendak melakukan aksi korporat yang “aneh” seperti stock split, right issue, penerbitan obligasi, atau menambah utang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar