Minggu, 01 Juni 2008

Mengintip Kediaman PM Malaysia

Ingat ribut-ribut rencana memindahkan pusat pemerintahan ke Jonggol? Indonesia tinggal punya rencana. Malaysia sudah berhasil memindahkan ibu kota pemerintahan ke Putrajaya yang modern dan futuristik, tetapi tetap Islami.

Rasa iri menggerogoti hati saya ketika tiba di stasiun KL Central, Kuala Lumpur. Betapa tidak, stasiun kereta api pusat di Kuala Lumpur ini begitu bersih dan modern, bahkan tak kalah gaya dibanding Bandar udara.

Setelah menitipkan koper dan ransel di locker stasiun, saya dan empat orang teman seperjalanan memutuskan jalan-jalan ke Putrajaya. Ini adalah kota baru pusat pemerintahan Malaysia. Kota itu dinamakan Putrajaya untuk menghormati PM Malaysia pertama, Tunku Abdul Rahman Putra. Dalam bahasa Melayu, putra berarti pangeran dan jaya berarti berhasil atau sukses.

"Asyik Iho, di Putrajaya kita bisa naik perahu keliling danau buatan sekalian melihat-lihat semua bangunan di sana," kata Intan, wartawan Warta Kota yang sejak tahun lalu rajin mengumpulkan brosur tempat wisata di Malaysia ini. Sepertinya menarik, pikir saya setuju setelah melihat gambar-gambar Putrajaya di brosur.

Terus Dibangun

Putrajaya terletak 30 km di sebelah selatan Kuala Lumpur. Jarak itu tak terasa jauh, hanya 20 menit jika dijangkau dengan kereta api KLIA Transit.

Tiket untuk pulang pergi dihargai 15 ringgit atau sekitar Rp 37.500, sedangkan tiket sekali jalan berharga 9,5 ringgit. Kereta api cepat itu mampir sejenak di Putrajaya dalam perjalanan ke bandara internasional Kuala Lumpur.

Keluar dari stasiun Putrajaya, suasana kota baru ini masih sangat lengang. Dari hasil obrolan dengan perempuan penjaga toilet yang belakangan ketahuan asli Lumajang, Jawa Timur, kami mendapat informasi bus yang harus ditumpangi untuk keliling Putrajaya.

"Mbak, mana logat Jawa Timurmu?" tanya saya menggoda. "Ssst...aku harus cepat menyesuaikan diri supaya tidak ketahuan polis diraja," jawab TKW ilegal itu.

Hanya ada kami berlima di dalam bus, tetapi bus tetap berangkat sesuai jadwal. Dari balik jendela bus saya mengamati suasana kota yang masih terus dibangun sejak tahun 1993 dan rencananya selesai 2012 itu.

Dibangun di atas lahan seluas 4.931 hektare, Putrajaya dulu adalah perkebunan kelapa sawit. Hijau-hijauan pohon ditanam dan ditata kembali di kota itu, termasuk juga taman botani yang ada di kota itu.

Keliling Danau

Dalam keadaan seperti itu, jalan kaki adalah hal terakhir yang ingin saya lakukan di Putrajaya. Pepohonan belum cukup rimbun meneduhi jalur pejalan kaki, padahal matahari bersinar sangat garang. Kami terpaksa berjalan kaki ketika memutuskan turun di Istana Melawati.

Awalnya kami terpesona dengan kata istana. Tak ada keterangan apa isi istana itu di brosur yang kami pegang. Belakangan kami baru tahu bahwa Melawati adalah kediaman Yang Dipertuan Agung Malaysia. Tentu saja istana itu tak dibuka untuk turis!

Menunggu bus mungkin perlu 30 menit lagi. Jadi, terpaksa kami berjalan kaki menuju Mesjid Putra, salah satu bangunan yang wajib dikunjungi di Putrajaya. "Nggak jauh, kok. Itu puncak kubahnya kelihatan," kata saya sok tahu.

Kami merasa sudah menempuh jalur yang benar menuju bangunan tinggi berkubah seperti mesjid itu. Semakin dekat, kami merasa agak aneh karena bangunan itu sepi dan cukup banyak penjaga berseragam di sekitarnya. Setelah bertanya pada petugas di situ, kami baru tahu bahwa bangunan itu bukan Mesjid Putra, melainkan kantor PM Malaysia. Walah!

Menuju Mesjid Putra, kami harus jalan cukup jauh. Padahal, semakin slang matahari semakin garang. Mesjid cantik itu berwarna merah muda dengan ciri kubah bermotif Persia. Desain mesjid itu terinspirasi oleh Mesjid Sheikh Omar di Baghdad dan memiliki kapasitas 15 ribu jamaah. Mesjid itu terletak di tepi danau buatan Putrajaya.

Menurut brosur yang kami baca, cara terbaik menikmati Putrajaya secara cepat dan menyeluruh adalah dengan naik perahu berkeliling danau. Perahu yang disediakan ada dua macam, perahu dondang sayang dan belimbing. Dondang sayang adalah perahu tradisional bermotor yang membawa turis keliling danau selama 25 menit, sedangkan belimbing adalah perahu pesiar ber-AC yang mengajak pesiar 70 orang selama 45 menit.

Saya memilih dondang sayang karena lebih murah dan bisa berangkat sewaktu-waktu. Tiketnya seharga 20 ringgit, sedangkan perahu belimbing harga tiketnya 30 ringgit dan berangkat setiap jam.

Bayar murah atau mahal, prosedur keselamatan di air harus tetap dipatuhi. Sebelum naik perahu, saya dan Suci diwajibkan memakai pelampung.

Diiringi lagu-lagu pop Indonesia yang diputar radio Malaysia, kami mengarungi danau buatan Putrajaya. Detail mesjid bisa kami nikmati dari danau buatan. Kami juga menyaksikan aktivitas olahraga air seperti perahu kano dan berlayar di danau itu.

Empat Jembatan

"Itu rumah PM Malaysia," kata nona bertubuh besar yang jadi juru mudi perahu. Tentu saja kediamanan PM Malaysia itu hanya tampak lamat-lamat saja. "Sedangkan itu adalah kediaman menteri," tambahnya.

Kami juga melewati monumen milenium dan kantor kementerian keuangan yang megah. Dari danau pula kami menyaksikan empat jembatan megah dengan desain berbeda, mulai dari desain Islami sampai modern: Seri Saujana Bridge, Putra Brige, Seri Gemilang Bridge, dan Seri Wawasan Bridge.

Puas berkeliling dengan perahu, ada toko suvenir yang menarik untuk dijelajahi. Fasilitas food court yang luas tersedia tak jauh dari toko suvenir. Pilihan menu makan pun beragam, mulai dari Melayu, India, Cina, hingga masakan Eropa. Kali ini pilihan saya adalah nasi kandar.

Di food court, kami makan sekaligus melepas lelah. Ketika sedang asyik bercakap, ada suara menimpali, "Dari Indonesia, ya? Ibu juga dari Indonesia," ujar seorang ibu berjilbab yang bertugas mengangkati piring kotor di meja. Senang rasanya bertemu orang Indonesia lagi di negeri orang.

"Wah, adik-adik ini buang duit di Malaysia, ya. Ibu sibuk cari uang nih di sini," kata perempuan asal Jember, Jawa Timur itu. Kali ini kami hanya bisa tersenyum bersimpati pada perempuan perkasa yang berani mencari nafkah hingga negeri jauh itu.

Sumber: Senior

Tidak ada komentar:

Posting Komentar