KISAH pelacuran di Batavia tak bisa lepas dari perjalanan keroncong. Kenapa demikian, karena menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, kedua hal itu memang saling kait. Keroncong diperkirakan muncul pada akhir abad 17 di Jassenburg (kini bernama Jembatan Batu, tak jauh dari Stasiun Jakarta Kota). Di lokasi ini, pemuda-pemudi tempo dulu bersantai di malam hari. Para pemuda jualan suara sambil memetik gitar, merayu gadis-gadis yang "mejeng" di loteng rumah. Hal itu merupakan tradisi Eropa yang dibawa orang-orang Mestizo (peranakan Portugis-India).
Lama-kelamaan perumahan Mestizo di Jassenburg berpindah kepemilikan ke orang Tionghoa. Menurut Ridwan Saidi, musik keroncong tetap mengalun namun gadis yang berdiri di loteng bukan lagi gadis Mestizo yang hitam manis melainkan Macao Po, gadis-gadis Macao peranakan Tionghoa-Portugis. Sebutan mereka moler (Portugis) yang artinya perempuan, yang kemudian mengalami perubahan makna menjadi perempuan jalang. Pasalnya, perempuan Macao Po jadi konsumsi kapiten dan letnan Tionghoa serta kumpeni berpangkat. Sementara buaya keroncong yang tak henti memetik gitar dan menyanyikan Terang Boelan, tak masuk hitungan.
Dalam Rode Lamp van Batavia tot Jakarta, Ridwan mencatat, Jassenburg menjadi rode lamp alias red light atawa kawasan pelacuran kelas menengah-bawah pertama di Batavia. Tepatnya di Gang Mangga, yaitu di sebelah timur Jassenburg. Dari kawasan inilah kemudian penyakit mangga berkembang, disebut juga pehong (sial) yang biasa menjangkiti pria yang doyan mampir ke rode lamp.
Kejayaan Gang Mangga berakhir di pertengahan abad 19, kawasan itu berubah jadi permukiman penduduk dan nama Gang Mangga pelan-pelan lenyap. Kemudian, seluruh jalan yang membentang dari Jassenburg sampai ke pintu air Goenoeng Sari dinamakan Mangga Doea Weg. Sebagai ganti tempat hiburan untuk mendengarkan musik, maka muncul rumah plesir milik pribadi-pribadi kaya semacam Oei Tamba Sia yang lantas berkembang menjadi soehian.
Soehian pun berubah, tak beda dengan rumah bordil. Sebelum rontok, di abad 20, soehian banyak membawa korban. Yang jadi korban tak lain adalah perempuan-perempuan penjaja. Sebut saja Fientje de Fenicks dari soehian di Paal Merah, Nona Bong dari soehian di Kampung Bebek, dan Aisah dari Kampung Kramat yang tewas di rel kereta tak jauh dari Senen.
Soehian kemudian berganti menjadi kompleks WTS yang tersebar di Gang Kaligot, Sawah Besar dan Gang Hauber, Petojo. Perempuan penjaja berkeliaran di sekitar Bioskop Alhambra sampai Jembatan Ciliwung (di depan Gajah Mada Plaza sekarang). Di masa itu, penduduk menyebut kawasan itu sebagai Jembatan Busuk lantaran bau parfum WTS yang menyengat bercampur bau keringat selalu menyebar di malam hari.
Kedua gang tersebut terus berjaya bahkan hingga Jepang masuk ke Indonesia. Pasalnya tentara Dai Nippon juga ikut menjadi konsumen aktif ke tempat itu. Di zaman Jepang inilah, tempat WTS makin marak bahkan hingga ke gerbong kereta api Senen. Di masa milenium ini, lokalisasi pun diobrak-abrik hingga penjaja seks yang masih terus dicari calon pembeli, harus ngetem di tempat-tempat yang tak berbeda dari zaman Jepang. Maka, jangan heran jika kasus AIDS sulit dilacak sebab tak ada lokasi yang dilokalisir bagi penjaja dan pembeli seks.
Lama-kelamaan perumahan Mestizo di Jassenburg berpindah kepemilikan ke orang Tionghoa. Menurut Ridwan Saidi, musik keroncong tetap mengalun namun gadis yang berdiri di loteng bukan lagi gadis Mestizo yang hitam manis melainkan Macao Po, gadis-gadis Macao peranakan Tionghoa-Portugis. Sebutan mereka moler (Portugis) yang artinya perempuan, yang kemudian mengalami perubahan makna menjadi perempuan jalang. Pasalnya, perempuan Macao Po jadi konsumsi kapiten dan letnan Tionghoa serta kumpeni berpangkat. Sementara buaya keroncong yang tak henti memetik gitar dan menyanyikan Terang Boelan, tak masuk hitungan.
Dalam Rode Lamp van Batavia tot Jakarta, Ridwan mencatat, Jassenburg menjadi rode lamp alias red light atawa kawasan pelacuran kelas menengah-bawah pertama di Batavia. Tepatnya di Gang Mangga, yaitu di sebelah timur Jassenburg. Dari kawasan inilah kemudian penyakit mangga berkembang, disebut juga pehong (sial) yang biasa menjangkiti pria yang doyan mampir ke rode lamp.
Kejayaan Gang Mangga berakhir di pertengahan abad 19, kawasan itu berubah jadi permukiman penduduk dan nama Gang Mangga pelan-pelan lenyap. Kemudian, seluruh jalan yang membentang dari Jassenburg sampai ke pintu air Goenoeng Sari dinamakan Mangga Doea Weg. Sebagai ganti tempat hiburan untuk mendengarkan musik, maka muncul rumah plesir milik pribadi-pribadi kaya semacam Oei Tamba Sia yang lantas berkembang menjadi soehian.
Soehian pun berubah, tak beda dengan rumah bordil. Sebelum rontok, di abad 20, soehian banyak membawa korban. Yang jadi korban tak lain adalah perempuan-perempuan penjaja. Sebut saja Fientje de Fenicks dari soehian di Paal Merah, Nona Bong dari soehian di Kampung Bebek, dan Aisah dari Kampung Kramat yang tewas di rel kereta tak jauh dari Senen.
Soehian kemudian berganti menjadi kompleks WTS yang tersebar di Gang Kaligot, Sawah Besar dan Gang Hauber, Petojo. Perempuan penjaja berkeliaran di sekitar Bioskop Alhambra sampai Jembatan Ciliwung (di depan Gajah Mada Plaza sekarang). Di masa itu, penduduk menyebut kawasan itu sebagai Jembatan Busuk lantaran bau parfum WTS yang menyengat bercampur bau keringat selalu menyebar di malam hari.
Kedua gang tersebut terus berjaya bahkan hingga Jepang masuk ke Indonesia. Pasalnya tentara Dai Nippon juga ikut menjadi konsumen aktif ke tempat itu. Di zaman Jepang inilah, tempat WTS makin marak bahkan hingga ke gerbong kereta api Senen. Di masa milenium ini, lokalisasi pun diobrak-abrik hingga penjaja seks yang masih terus dicari calon pembeli, harus ngetem di tempat-tempat yang tak berbeda dari zaman Jepang. Maka, jangan heran jika kasus AIDS sulit dilacak sebab tak ada lokasi yang dilokalisir bagi penjaja dan pembeli seks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar