Kamis, 25 Maret 2010

Bisnis Pelesir ABG Dengan Sistim MLM di Medan !

ABG (Anak Baru Gede) atau teenager, menurut para pakar psikologi berada di saat rawan. Penuh pemberontakan dan pencarian jati diri. Usia yang ibarat kembang, sedang mekar-mekarnya, yang seringkali disalahgunakan untuk hal-hal yang nggak bener. Melacurkan diri adalah salah satunya.

Investigasi Tim Sumut Pos membuat kami terhenyak. Di kota metropolis ini, semua jenis pelacuran tersedia lengkap. Seragam putih-biru alias SMP dan putih abu-abu atau SMA, ada semua. Mulai layanan tingkat amatir dengan harga cuma dibelikan makan siang hinggayang profesional berorientasi rupiah sejumlah ratusan ribu bahkan jutaan.


Kenapa para ABG itu bisa terjebak dalam dunia itu. Kita telusuri yuk fenomena keberadaan pelacuran ABG ini untuk ditemukan akar masalahnya.

Melalui sejumlah wawancara dan investigasi, banyak di antara para ABG yang memutuskan dirinya melacur itu karena alasan ekonomi. Biaya sekolah yang mahal, harga buku yang tak murah serta kebutuhan hidup lainnya yang mendesak menjadi alasan yang dipilih. Apalagi bila menjelang ujian yang jelas-jelas ada tagihan ini-itu dari pihak sekolah.

Di antara mereka ada yang melakukannya tanpa sepengetahuan keluarga, tapi tidak sedikit yang mendapat restu orangtua. Bahkan ada seorang ibu yang sengaja menyelipkan kondom ke tas sekolah anaknya bila mereka akan keluar rumah.

Kemiskinan bukan satu-satunya alasan para ABG jual diri. Tidak sedikit mereka berasal dari kalangan mapan dan tinggal di perumahan mewah.
Tergiur gaya hidup yang konsumtif biar nggak dianggap kuno sama teman-teman sebaya juga bisa menjadi faktor yang lain. Punya HP model terbaru, MP4 Player, tas dan baju keluaran butik terkenal, jalan-jalan ke mal, bisa membuat para ABG lupa daratan. Persaingan antarteman juga bisa dijadikan alasan.

Habis dikecewakan dan dinodai mantan pacar menjadi alasan favorit para ABG ini. Ya, seabreg alasan bisa diberikan kalau sekadar sebagai pembenaran.

Pelacuran siswa SMA/SMK dan SMP di Medan sudah jadi rahasia umum. Praktiknya sudah terang-terangan. Aktivitasya di luar jam sekolah, area transaksi bisa di mana saja, bahkan dekat areal sekolah. Atau jika tak mau repot, tinggal pencet nomor telepon, nego harga dan cari tempat ’eksekusi’.

Bagi penggiat seks (tubang atau TB: kepanjangan dari tua bangka, istilah pelacur ABG untuk mangsanya) yang ingin menguji adrenalin dan keahlian, ingin merasakan suasana yang mendebarkan, bisa ’berburu’ langsung ke basis-basis para pelacur ABG tersebut.

Bisa langsung ke area sekolah dengan trik-trik tertentu, hunting di sejumlah taman seperti Taman Ahmad Yani, Taman Beringin dan Taman Teladan, atau hunting di pusat perbelanjaan. Di antara pusat perbelanjaanyang paling banyak pelacur ABG itu mencari mangsa adalah pusat perbelanjaan di Jalan SM Raja, di Jalan Gatot Subroto, di Jalan Iskandar Muda, di Jalan Aksara dan di Jalan Kapten Muslim.

Yang mengejutkan, germo atau mucikari pelacuran di sekolah, tak lagi didominasi pemain lama yang memang fokus di bisnis syahwat. Germo anak-anak belia ini, teman-teman mereka sendiri atau senior (kakak kelas, Red). Bahkan sesama mereka saling menjajakan temannya.

Jika sedang banyak job, maka akan ada rekomendasi agar penggiat seks ’memakai’ temannya. Jika di jaringan tertentu sedang ’sibuk’ atau over, maka job baru akan diberikan kepada jaringan lainnya. Sistem operasinya mirip multi level marketing (MLM). Meski ada juga beberapa germo profesional yang juga memiliki anak asuh siswa SMA.

Inilah yang ditemukan wartawan koran ini selama dua pekan terakhir, saat hunting pelacur SMA/SMK dan SMP di beberapa tempat di Medan.

Setelah selama dua pekan melakukan penelusuran di beberapa tempat di Medan, bertemu langsung dan wawancara dengan sejumlah pelacur ABG, maka apa yang dikhawatirkan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Sumut, menjadi kenyataan.

Pada 2008 lalu hasil penelitian PKPA Sumut yang dirilis Direkturnya, Ahmad Sofian menyebutkan, sebanyak 2.000-an siswa SMA/SMK dan SMP di Medan, terlibat aktivitas pelacuran anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar