Di tanah air, Citibank termasuk memiliki reputasi yang harum nan mencorong. Perusahaan ini dikenal sebagai salah satu sekolah bankir terbaik di Indonesia, tempat dimana para bankir jempolan ditempa dan dikembangkan. Kinerja bisnisnya juga terus melenggang manis, termasuk menjadi market leader untuk pasar kartu kredit di tanah air (barangkali Anda termasuk salah satu pemilik kartu kredit dari Citibank).
Namun dalam skala global, Citibank (yang induk perusahaannya disebut Citigroup) merupakan raksasa yang tengah terluka parah dengan darah mengucur dari sekujur tubuhnya. Akibat terperangkap dalam kredit macet perumahan di Amerika (subprime mortage), Citibank harus kehilangan uang sebesar Rp 160 trilyun (gasp!). Harga sahamnya hancur berantakan, dari sebesar $ 57 turun ke angka $ 20 – membuat para pemegang sahamnya harus kehilangan market value sebesar Rp 1,400 trilyun (dua kali lipat APBN negeri kita!).
Mengapa sang rakasa Citibank bisa terluka sedemikian parah? What went wrong? Jawabannya lugas : Citibank roboh karena melakukan kesalahan fatal dalam memilih CEO. People first – dan drama limbungnya Citibank ini sekali lagi menunjukkan bahwa kisah kehancuran banyak perusahaan selalu berakar pada kesalahan dalam mengelola SDM – bukan karena kesalahan dalam faktor strategi, pemasaran, teknologi ataupun keuangan.
Benih luka dalam tubuh Citibank sejatinya sudah mulai tertanam sejak tahun 2000, ketika Citigroup (hasil merger antara Citibank dengan Travelers Group) dikendalikan oleh CEO bernama Sandy Weill. Sosok Sandy sendiri sebenarnya bukan figur seorang CEO yang tangguh – setidaknya ia kalah jauh dari sisi manajerial dibanding Jack Welch. Sandy juga bukan sosok yang visioner yang mampu membaca arah strategi perbankan global masa depan. Yang lebih tragis, ia memiliki style kepemimpinan yang cenderung otoriter. Itulah sebabnya banyak great people di Citibank global yang hengkang lantaran tak betah dengan gaya kepemimpinannya.
Namun kesalahan fatal yang ia lakukan adalah saat ia harus memilih pengganti (suksesor) lantaran ia akan pensiun pada tahun 2003. Disini ia menggunakan pendekatan yang pekat dengan crony-ism (perkoncoan). Dari sejumlah kandidat yang muncul, ia akhirnya memilih Charles Prince, bukan karena ia yang terbaik, namun lebih karena ia yang paling loyal dengannya. Banyak orang terkejut dengan pilihan ini, sebab posisi Charles Prince saat itu adalah kepala bagian hukum (legal) – dus, ia sama sekali tidak memiliki strong background dalam bidang perbankan. See….seorang CEO sebuah perusahaan global pun ternyata bisa melakukan “a stupid decision”.
Dan benar adanya. Tanpa dibekali dengan kemampuan perbankan yang mumpuni, Prince gagal mengendalikan Citibank secara optimal. Dan akhirnya, pada tahun 2007 lalu, Citibank dihantam keras oleh badai kredit macet perumahan yang membikinnya terluka parah. Dan Prince pun segera dipecat.
Lalu, pelajaran apa yang bisa kita petik dari drama kegagalan succession planning di Citibank ini? Ada dua hal yang mungkin bisa kita elaborasi disini.
Yang pertama, sebuah proses succession planning (atau proses penggantian para eksekutif yang menduduki posisi kunci) mestinya dilakukan secara sistematis dan berdasar pada asesmen yang obyektif – dan bukan melalui proses yang parsial dan berdasar perasaan subyektivitas yang penuh bias.
Untuk melakukan proses succession planning secara optimal, kita mesti memulainya dengan identifikasi para talent pool – atau barisan para potential employees yang memiliki talenta untuk menjadi para pemimpin masa depan. Selanjutnya, deretan karyawan potensial ini kudu ditempa dan dikembangkan kompetensinya melalui rangkaian program pengembangan yang sistematis. Proses pengembangan dapat dilakukan baik melalui program pelatihan berjenjang; ataupun juga dilakoni via penugasan khusus (special assignment), skema mentoring, atau melalui pemekaran tugas dan tanggungjawab (job enrichment). Harapannya, melalui beragam program pengembangan ini, para karyawan tersebut menjadi kian matang dan benar-benar siap menjadi top talent perusahaan.
Pelajaran kedua yang bisa dipetik barangkali adalah ini : proses penyiapan para future leaders hanya akan berjalan dengan optimal jika sebuah perusahaan telah memiliki sebuah sistem pendidikan dan pengembangan karyawan yang bersifat terpadu, sistematis dan dijalankan dengan konsisten. Kisah keberhasilan GE yang selalu bisa mencetak para top leaders jempolan hanya bisa terjadi karena mereka memiliki lembaga GE Campus yang legendaris. Demikian juga kisah kebesaran Astra International tercipta lantaran mereka memiliki proses pengembangan manajer yang sistematis melalui lembaga Astra Management Development Institute (pembahasan saya yang lebih detil mengenai GE Corporate Campus bisa Anda baca DISINI). Tanpa sistem pengembangan dan pendidikan yang terpadu, jangan harap kita akan mampu mencetak para future leaders yang mumpuni.
Sekali lagi, great people will always determine your success. Citibank mungkin mesti segera melakukan beragam langkah sistematis untuk membenahi proses pengelolaan dan pemilihan para top eksekutifnya. Jika mereka kembali ceroboh dalam memilih para top eksekutifnya, mungkin Citibank bisa benar-benar roboh tak berbekas. Dan itu artinya, nama besar Citibank bisa tinggal sejarah diatas puing-puing kehancuran.
Yodhia Antariksa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar