Lebih dari 8.000 perempuan di Republik Demokratik Kongo (DRC) mengalami pemerkosaan sepanjang tahun 2009, yang ditengarai dilakukan oleh faksi-faksi yang berperang, baik tentara pemberontak maupun tentara pemerintah.
Menurut laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Dana Populasi (UNFPA), tentara pemberontak suku Hutu (FDLR) diyakini sebagai pihak yang paling banyak melakukan pemerkosaan. "(Namun) anggota-anggota tentara nasional (FARDC) juga melakukan kekerasan seksual di Provinsi Kivu Utara dan Selatan," ungkap UNFPA.
Badan-badan kemanusiaan memang memuji upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah DRC untuk mengakhiri praktik pemerkosaan oleh tentaranya.
Namun, UNFPA melihat Pemerintah Kongo masih perlu berbuat banyak dalam memastikan jangan sampai mereka yang bersalah lolos dari hukuman. Republik Demokratik Kongo (DRC)—untuk membedakan dengan negara tetangganya, Republik Kongo—merupakan negara yang telah bertahun-tahun dilanda perang saudara.
Dalam lima tahun terakhir, konflik yang terus bergejolak di negara bekas jajahan Belgia itu melibatkan tentara Pemerintah DRC—yang didukung Zimbabwe, Angola, dan Namibia—dengan milisi pemberontak—yang didukung Rwanda dan Uganda.
Kendati kesepakatan damai dan pembentukan sebuah pemerintahan transisi telah ditandatangani pada tahun 2003, pertikaian terus berlangsung, terutama di wilayah bagian timur. Di wilayah itu pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya terhadap perempuan kerap terjadi dan disebut-sebut merupakan pemerkosaan yang terburuk di dunia.
Konflik berdarah selama lima tahun terakhir dilaporkan telah menewaskan jutaan warga, termasuk mereka yang terkena dampak perang sehingga mengalami kelaparan dan didera berbagai penyakit.
Melalui mandat Dewan Keamanan tahun 1999, PBB mengirimkan pasukan penjaga perdamaian untuk memantau pelaksanaan perjanjian Lusaka tahun 1999, yakni kesepakatan gencatan senjata antara DRC dan kelima negara di kawasan Afrika tengah, yakni Zimbabwe, Angola, dan Namibia. Pasukan penjaga perdamaian PBB di DRC (MONUC) saat ini berkekuatan sekitar 5.500 tentara dan 500 pemantau militer dari puluhan negara, termasuk Indonesia.
Menurut laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Dana Populasi (UNFPA), tentara pemberontak suku Hutu (FDLR) diyakini sebagai pihak yang paling banyak melakukan pemerkosaan. "(Namun) anggota-anggota tentara nasional (FARDC) juga melakukan kekerasan seksual di Provinsi Kivu Utara dan Selatan," ungkap UNFPA.
Badan-badan kemanusiaan memang memuji upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah DRC untuk mengakhiri praktik pemerkosaan oleh tentaranya.
Namun, UNFPA melihat Pemerintah Kongo masih perlu berbuat banyak dalam memastikan jangan sampai mereka yang bersalah lolos dari hukuman. Republik Demokratik Kongo (DRC)—untuk membedakan dengan negara tetangganya, Republik Kongo—merupakan negara yang telah bertahun-tahun dilanda perang saudara.
Dalam lima tahun terakhir, konflik yang terus bergejolak di negara bekas jajahan Belgia itu melibatkan tentara Pemerintah DRC—yang didukung Zimbabwe, Angola, dan Namibia—dengan milisi pemberontak—yang didukung Rwanda dan Uganda.
Kendati kesepakatan damai dan pembentukan sebuah pemerintahan transisi telah ditandatangani pada tahun 2003, pertikaian terus berlangsung, terutama di wilayah bagian timur. Di wilayah itu pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya terhadap perempuan kerap terjadi dan disebut-sebut merupakan pemerkosaan yang terburuk di dunia.
Konflik berdarah selama lima tahun terakhir dilaporkan telah menewaskan jutaan warga, termasuk mereka yang terkena dampak perang sehingga mengalami kelaparan dan didera berbagai penyakit.
Melalui mandat Dewan Keamanan tahun 1999, PBB mengirimkan pasukan penjaga perdamaian untuk memantau pelaksanaan perjanjian Lusaka tahun 1999, yakni kesepakatan gencatan senjata antara DRC dan kelima negara di kawasan Afrika tengah, yakni Zimbabwe, Angola, dan Namibia. Pasukan penjaga perdamaian PBB di DRC (MONUC) saat ini berkekuatan sekitar 5.500 tentara dan 500 pemantau militer dari puluhan negara, termasuk Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar