Senin, 14 Desember 2009

Peragawati Berkaki Empat dari Madura !


Sapi dan orang Madura, adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Bagi kelompok etnis tersebut, sapi tak hanya dimanfaatkan untuk kepentingan kerja di sawah, tegalan, atau dipotong untuk dijual dagingnya. Binatang itu bisa pula berarti simbol harga diri, gengsi, pamor, dan citra seseorang.


Kita tahu, karapan sapi sudah dikenal di seantero jagad. Sepasang sapi diadu kecepatan larinya di lapangan terbuka dengan iringan musik saronen, instrumen khas Madura yang di antaranya terdiri atas bunyian selompret dari kayu jati. Grup musik Saronen biasanya terdiri dari tiga pemain kenong, satu pemain kendang, satu pemain gong, dua pemain terompet, dan dua pemain kecer mengiringi pasangan sapi sonok yang melenggang dengan kepala tegak bak seorang model atau sapi karapan yang sedang berlari kencang bagai sprinter.

”Warga Madura mengatakan bahwa sapi sonok itu sapi sombong. Kenapa? Karena saat sapi berjalan, wajahnya terus mendongak ke atas dan melihat lurus ke depan dengan kepercayaan tinggi,” ujar Bupati Pamekasan, KH Kholirurrahman pada suatu acara.

Sapi sonok berasal dari sapi betina. Dalam konteks ini, di kalangan warga Madura secara tak sadar berlaku emansipasi persapian. Kok bisa? Sapi jantan harga dan reputasinya menjulang tinggi jika menang lomba karapan sapi. Demikian halnya dengan sapi betina, harga, reputasi, dan namanya langsung menjulang ke langit kalau menang kontes sapi sonok. ”Sapi sonok yang seringkali menang di beberapa kontes hanya bisa mencapai Rp 100 juta lebih. Saya kemarin membeli anakan sapi sonok yang biasanya menang di banyak kontes harganya Rp 30 juta,” tambah Kholirurrahman.

Pemilik sapi sonok harus merogoh kocek cukup dalam untuk merawat dan melengkapi perhiasan yang wajib dikenakan sepasang sapi sonok ketika dilombakan. Bak mengikuti kontes ratu kecantikan, sepasang sapi sonok harus dirias, diberikan panggonong yang biasanya dicat kuning keemasan, pakaian yang bersulamkan benang emas yang berkilauan ketika ditimpa sinar matahari, beludru merah dan juga kuning, kayu ukir bentaos dari Karduluk (sentra ukiran Sumenep), dan juga tak ketinggalan kelintingan (bebunyian).

Selain itu, kulit sapi itu harus mulus, dan tak punya luka sama sekali. Kuku dan tanduk sapi harus terpelihara dengan baik. Selain rumput sebagai menu utama makan sapi, sapi sonok juga harus mendapat ramuan khusus yang terdiri dari telur ayam kampung, kunyit, gula merah, bawang, daun bawang, asam jawa, kelapa dan dicampur dengan jamu sehat dari Madura. Telur ayam kampung yang dibutuhkan per ramuan untuk satu sapi sonok sebanyak 25 butir. Mendekati satu minggu sebelum kontes sapi sonok, biasanya komposisi jamu sapi sonok ini ditingkatkan 2 kali lipat.

SAPI sonok juga harus rajin dimandikan di pandokan (tempat khusus untuk memandikan sapi), dengan diberi sabun pelembut bulu dan dipijat seluruh badan minimal 2 hari sekali. Sapi sonok itu harus bersih dan cantik secara fisik, seluruh bulu di badan sapi sonok juga harus dipotong pendek dan rapi.

Karena itu, pemilik sapi sonok di Madura membutuhkan satu atau dua orang perawat khusus. Sang perawat ini tahu ilmu dan berpengalaman dalam merawat sapi sonok. Sebab, beban kerja si perawat sapi tak hanya terkait menu dan pijatan khusus pada sapi, mereka juga harus melatih sapi cara berjalan, melenggok-lenggok dengan iringan musik tertentu, dan gemulai gerakan kaki sapi sonok saat berlomba. Karena itu, setiap hari sapi sonok dicancang (diikat) di sepasang kayu patok dan bagian kaki depannya ditumpangkan ke papan yang posisinya lebih tinggi dibanding kaki belakang.

Bahkan, tak jarang pemilik sapi sonok datang pada orang yang dianggap sebagai orang pintar dalam dunia mistis. Tujuannya, melancarkan jalannya permainan dan membuat sapi tunduk, pasrah, dan siap menghadapi lawan tangguh sekali pun. ”Dalam perspektif budaya, sapi sonok simbol kesopanan dalam bertingkah laku di kalangan warga Madura,” jelas Kholirurrahman.
Menurut seorang juri kontes sapi sonok, selain ketangkasan dan keanggunan sapi, postur tubuh sapi sonok juga jadi kriteria penilaian. Sapi sonok dikatakan bagus dan oke secara fisik jika memiliki punuk besar, lingkar dada lebar, bulu ekor hitam, dan badan panjang.

Apresiasi warga Madura terhadap budaya sapi sonok setara dengan karapan sapi. Di Pamekasan, misalnya, hampir tiap kecamatan di daerah itu ada warga yang memiliki sepasang atau lebih sapi sonok. Di Kecamatan Pase’an, Pamekasan tak kurang ada 47 ekor sapi sonok.
Memang, ada 4 jenis sapi yang jadi kebanggaan warga Madura. Selain sapi sonok, ada sapi karapan, sapi biasa (biasanya untuk membajak di sawah dan tegalan), dan sapi madrasin (persilangan sapi Madura dan Limousin). Harga sapi madrasin yang bagus bisa mencapai Rp 25-30 juta per ekor.

Bagaimanan aturan lomba kontes sapi sonok? Arena yang dipakai untuk kontes sapi sonok biasanya satu lokasi dengan lomba karapan sapi. Untuk kontes sapi sonok, venue harus dilengkapi dengan panggung kayu yang diberi garis lintasan dan labhang saketheng (semacam gapura) yang diberi aneka benda, seperti cermin besar, orang-orangan atau topeng, dan dipadukan dengan iringan kesenian musik saronen.

Sedang kriteria penilaian kontes sapi sonok adalah keanggunan dan kecantikan sapi, kemulusan kulit dan bulu sapi, cara berjalan sapi, keselarasan saat sapi sonok berjalan dan kesesuaian dengan irama musik pengiring. Biasanya dalam kontes sapi sonok, batasan waktu dari gerbang start sampai finish harus diselesaikan dalam waktu 2 menit. Ketidaktepatan waktu mengurangi poin sapi sonok yang mengikuti kontes. Sedang sapi yang berbalik arah dinyatakan gagal atau didiskualifikasi.

Selain itu, penilaian lain adalah pasangan sapi sonok harus naik panggung yang terbuat dari papan, dengan cara menginjakkan dua kaki depannya di atas papan. Tepat di bibir papan kayu, dua kaki depan pasangan sapi sonok harus serasi diam menunggu penilaian dewan juri.
”Sapi sonok itu kami perlakukan bak putri raja. Langkah sapi kami atur sehingga bisa berjalan serasi,” ujar Sapawi, pemilik sapi sonok di Pamekasan.

Prestasi yang diraih pasangan sapi sonok bukan hanya memberikan ke­banggaan, tapi juga mampu mengang­kat pamor sang pemilik. Karena itu, untuk kepentingan kelestarian budaya dan pengakuan pihak lain bahwa sapi sonok merupakan budaya khas Madu­ra, khususnya Kabupaten Pamekasan, maka Pemkab setempat mengajukan hak cipta sapi sonok ke pemerintah sebagai hak cipta Pamekasan.

”Rintisan sapi sonok di Pamekasan berlangsung sejak 40 tahun lalu,” jelas Kholirurrahman.

Selalu Ada Merahnya

Tak ada catatan khusus mengenai batik madura. Soraya (50), perajin batik tulis khas Madura di Pamekasan menuturkan bahwa awalnya batik Madura itu dibawa oleh pedagang-pedagang dari Yaman ke Indonesia. Dan di Indonesia, khususnya di Madura, batik hanya dikerjakan di istana para raja. Pada umumnya yang membatik adalah selir-selir raja. Para selir yang dicerai lalu membatik di desanya dan produknya dijual pada para bangsawan.”Kira-kira sejarah seperti itu,” ujar Soraya.

Dalam perkembangannya, ada ratusan bahkan ribuan motif batik madura, khususnya di Pamekasan. Tiap desa memiliki motif batik sendiri-sendiri. Beberapa contohnya motif sekar jagad, gedek, sisik, beras tumpah, akar bambu, konglengkong (tak putus-putus/terus bersambung), bedung, nyoh polek, dan banyak motif lainnya.
”Ada satu ciri khas lain yang pasti ada di batik madura adalah goresan warna merah,” kata Achmadi, perajin batik.

Kenapa? Ada beragam pandangan mengenai hal tersebut. ”Tampak­nya belum puas mem­ba­tik kalau belum menggoreskan war­na merah,” ujar Achmadi. Bupati Kholirurrah­man menjelaskan bahwa merah itu warna khas warga Ma­du­ra. ”Itu menunjukkan warna gagah berani. Kelihatannya belum puas kalau tak ada warna merahnya.”
Selain itu, ciri khas batik tulis madura adalah motifnya penuh. Maksudnya, kata Achmadi, pada bidang kain batik itu jarang dijumpai ruang kosong. Misalnya, dalam motif sekar jagad, ada gambaran sisik ikan, gedek, beras tumpah, konglengkong, dan lainnya.

Hal itu berbeda dengan batik Solo, Pekalongan, dan Yogyakarta yang motifnya biasanya terbatas dan terikat pakem tertentu. Batik tulis Madura lebih bebas dan dinamis. Hal itu tak bisa dilepaskan dari karakter warga Madura yang umumnya keras, terbuka, dan selalu bicara ada apa adanya (polos dan jujur).

Ada banyak klasifikasi harga dan kualitas batuk tulis Madura. Dari batik yang berharga Rp 50 per potong (2 meter) sampai Rp 15 juta per potong. Achmadi menuturkan di Desa Kampar, Proppo, tiap perajin batik mampu menghasilkan 5 potong kain batik tulis per hari untuk klasifikasi batik kasar yang harganya Rp 50 ribu per potong. Namun demikian, katanya, ada pula batik tulis khusus yang proses pengerjaannya harus tenang dan perajinnya tak boleh stres.
”Batik khusus Madura pewarnaannya dengan cara direndam dalam gentong selama beberapa bulan. Proses pewarnaan dan saat membatik harus tenang dan pembatiknya tak boleh stres. Ya batik seperti ini yang harganya sampai Rp 15 juta per potong,” ungkap Achmadi yang membina 350 perajin batik di Desa Kampar, Kecamatan Proppo.

Selain itu, ada juga batik untuk kalangan kelas menengah yang harganya Rp 1,5 juta sampai Rp 3 juta per potong. Batik tulis dengan kualitas menengah ini proses penggarapannya membutuhkan tempo sekitar 3 bulan.

Dunia bisnis dan seni kain batik di Madura, khususnya Pamekasan, makin bergairah setelah banyak wisatawan lokal datang ke daerah ini. Soraya menyatakan, omzet batik tulis yang dihasilkan per bulan mencapai 500 potong untuk kategori batik murah, yang harganya antara Rp 100 ribu sampai Rp 125 ribu per potong. Sedangkan untuk batik-batik yang berkelas, omzetnya bergantung atas kebutuhan pasar. (Ainur Rohim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar