Rabu, 12 Maret 2008

Membaca Saja Koq Sulit ?

Menyusuri gerbong-gerbong kereta ekspres Bogor–Jakarta, yang umumnya berisi para commuter, sebuah pemandangan menarik kerap terlihat. Hampir semua penumpang, dari enam gerbong yang ada, tampak asyik menekuni bacaan. Ada yang membaca ko-ran, tabloid gosip, novel (dari Harry Potter hingga Laskar Pelangi), buku-buku self help, biografi, bahkan psikologi. Penumpang yang duduk lesehan di lantai kereta maupun yang berdiri, juga tak mau kalah.

Meski kereta terguncang-guncang, niat baca tak menyusut. Sementara satu tangan berpegangan pada tiang, tangan lainnya menggenggam erat bacaan. Pemandangan seperti ini berbeda dibandingkan beberapa waktu sebelumnya. Dulu mereka lebih suka mengutak-atik ponsel atau tidur. Apakah ini berarti minat baca masyarakat kita meningkat?

CUMA UNTUK PUNYA-PUNYAAN?
Belakangan ini, sudah menjadi pemandangan lumrah bila sejumlah toko buku di Indonesia, terutama yang menjual buku-buku impor dan majalah asing, kebanjiran pengunjung, apalagi di saat weekend. Sepertinya, kita merasa ketinggalan zaman kalau tidak ikutan dalam arus itu. Berjalan di antara rak-rak tinggi berisi bacaan-bacaan ber-bahasa asing, seolah menjadi gengsi tersendiri. Buku atau majalah pun berpindah tempat, dari rak ke dalam kantong plastik. Tak peduli harus merogoh dompet hingga ratusan ribu, bahkan jutaan rupiah.

Jika buku hanya untuk dipamerkan dan dijadikan simbol status, apakah larisnya buku bisa dijadikan indikasi meningkatnya minat baca dalam masyarakat kita? Sosiolog Ida Ruwaida Noor meng-ungkapkan, itu memang bisa menjadi salah satu indikator. “Tapi, indikasi itu hanya terlihat di kalangan menengah ke atas, sehingga peningkatannya bisa dianggap tak terlalu signifikan. Di sisi lain, masih banyak yang tak bisa mendapatkan buku, karena harganya tak terjangkau. Mengeluarkan uang ‘hanya’ untuk membeli bacaan dianggap sebagai pengeluaran mewah,” katanya.

Tapi, bacaan kan bukan hanya buku. Masih ada koran, majalah, tabloid, hingga media online. Daripada membeli buku seharga Rp50.000, ada yang lebih suka surfing di internet. Hanya dengan membayar sewa Rp20.000 untuk 5 jam, misalnya, ia sudah bisa mendapatkan info apa saja yang diinginkan. Jadi, buku saja tidak bisa dijadikan tolak ukur untuk mengetahui peningkatan minat baca.

Duta Baca Indonesia yang dipilih Perpustakaan Nasional, Tantowi Yahya, mengamati, minat baca orang Indonesia tidak termasuk tinggi, tapi juga tidak rendah. Sedang-sedang saja. “Masalahnya, mereka yang punya minat membaca, sering kali tidak tahu harus membaca apa. Jangankan membeli bacaan, kebutuhan primer saja belum tentu terpenuhi. Masih banyak orang yang penghasilannya kurang dari Rp50.000 per hari, jumlah yang sama dengan harga rata-rata sebuah buku,” katanya.

”Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat visual, yang lebih suka nonton ketimbang membaca. Karena itu, televisi lebih disukai. Berdasarkan penelitian di Universitas Indonesia beberapa waktu lalu, orang yang tinggal di perkotaan menghabiskan waktu rata-rata 5 jam di depan teve. Selain itu, kebutuhan akan bacaan juga belum tercipta. Sebagian besar masih lebih suka menunggu dan diberi informasi, bukan mencari,” kata Ida, menjelaskan.

Femina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar